Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 1)
Islam sangat mengapresiasi produktivitas keilmuan. Allah berfirman,
يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Allah akan memberikan kegembiraan kepada orang-orang yang mau memanfaatkan kemampuan nalarnya guna mencari kebenaran. Allah berfirman,
وَٱلَّذِينَ ٱجْتَنَبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَ أَن يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ ۚ فَبَشِّرْ عِبَادِ ٱلَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ ٱلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
“Orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira. Sebab itu, sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar: 17-18)
Sebaliknya, Allah mencela siapa pun yang memiliki daya pikir, namun tidak mereka gunakan untuk memahami kebenaran. Allah berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِى يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَآءً وَنِدَآءً ۚ صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti ajaran yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar, kecuali panggilan dan teriakan semata-mata. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (QS. Al Baqarah: 170-171)
Konsep tersebut tidak hanya berhenti pada tataran teori, tetapi dapat kita temukan adanya teladan yang merealisasikan kemuliaan tersebut dalam jumlah banyak.
Kami kutipkan segelintir petualangan keilmuan para cendekiawan Islam sebagai berikut[1]:
Pertama: Muhammad bin Salam Al-Bikandi (guru Imam Al-Bukhari) pernah duduk dalam majelis ilmu. Ketika gurunya mendiktekan hadis, pena yang ia pakai patah. Lantas ia berkata, “Siapa yang mau menjual penanya seharga satu dinar[2]?” Maka, beterbanganlah beberapa pena ke arahnya.
Kedua: Ubaid bin Ya’isy berkata, “Aku tidak pernah makan malam dengan tanganku sendiri selama 30 tahun. Saudariku yang menyuapkanku, sementara aku menulis hadis.”
Ketiga: Ibnu Jarir Ath-Thabari bertanya kepada teman-temannya, “Apakah kalian bersemangat menulis tafsir Al-Qur’an? “ Mereka jawab, “Seberapa besar?” Ia jawab, “30.000 lembar.” Mereka berkata, “Itu tidak bisa selesai.” Akhirnya, beliau pun meringkasnya menjadi 3000 lembar. Beliau diktekan dari tahun 283H – 290H.
Keempat: Ibnu Jarir menulis selama sehari sebanyak 40 lembar. Total hasil karya tulis beliau sejumlah 315.000 lembar.
Kelima: Abu Yusuf membahas permasalahan fikih haji sesaat sebelum sakratulmautnya. Al-Bairuni mempelajari satu persoalan hukum waris saat menghadapi sakratulmaut.
Keenam: Ibnu Aqil Al-Hambali lebih menyukai makan kue basah daripada roti kering untuk menghemat waktunya, sehingga ia dimudahkan oleh Allah untuk melahirkan kitab Al-Funun yang berjumlah 800 jilid.
Ketujuh: Bekas rautan pensil Ibnul Jauzi dapat digunakan untuk memanasi air yang dipakai untuk memandikan jenazah beliau, bahkan masih tersisa.
Kedelapan: Imam An-Nawawi menghadiri 12 pelajaran dalam sehari semalam. Asy-Syaukani sejumlah 13 pelajaran. Dan Al-Alusi menulis tafsir di malam hari, sedangkan siang hari digunakan untuk mengajar 13 pelajaran.
Pencapaian imam-imam tersebut menjadi bukti tingginya apresiasi Islam terhadap aktivitas keilmuan. Hanya saja, terkadang tidak seluruh produktivitas ilmiah menghasilkan dampak yang baik. Sebagaimana yang terjadi pada beberapa kelompok Islam yang menjadikan filsafat Yunani Kuno sebagai asas akidah mereka. Mereka berargumen panjang lebar untuk menentukan kriteria Tuhan sesuai filosofi yang mereka pelajari, bukan sesuai keterangan yang Allah sampaikan kepada kita mengenai diri-Nya sendiri. Sayangnya, kerja keras mereka mendapat kritikan dari berbagai ulama, bahkan di kalangan internal mereka saling memperdebatkan keyakinan mereka sendiri. Mengapa demikian? Karena aliran tersebut tidak menempatkan akal sebagaimana posisi yang semestinya.
Fakhruddin Ar-Razi mengatakan bahwa jika dalil wahyu bertentangan dengan akal, maka dahulukan akal[3]. Konsep tersebut melahirkan banyak penyimpangan. Misalnya, mereka tidak mau mengakui adanya hikmah atas keputusan takdir Allah[4]. Mereka meyakini bahwa redaksi Al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam dan/atau malaikat Jibril, bukan dari Allah[5]. Mereka meyakini Allah tidak mencintai dan dicintai[6]. Sekali lagi, ini semua keliru. Pada akhirnya, mereka memfilter wahyu harus sesuai dengan premis yang mereka anggap benar menurut akal mereka, sedangkan akal tiap orang beragam. Akibat keberagaman akal tersebut, mereka pun saling mengkritisi keyakinan sesama mereka.
Contoh perdebatan internal mereka:
Pemahaman kelompok Asy’ari meyakini bahwa seluruh kejadian terjadi atas dampak yang Allah ciptakan. Adapun sebab usaha kita tidak berperan di dalamnya[7]. Ilustrasinya seperti ini. Seseorang memotong kue dengan pisau. Kue tersebut terbelah bukan karena kemampuan manusia ketika menggerakkan pisau, tetapi Allah menciptakan roti itu terbelah di saat yang sama ketika orang tersebut memotongnya. Jadi mereka menafikan sebab yang dilakukan makhluk. Keyakinan seperti ini disanggah oleh imam mereka sendiri, yaitu Abul Ma’ali Al-Juwaini dalam bukunya Al-Aqidah An-Nizhamiyah dan Asy-Syahristani dalam bukunya Al-Milal wan-Nihal. Demikian, jika akal bekerja di luar kapasitasnya.
Ahlussunah merupakan orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam sebagaimana yang dipahami oleh 3 generasi terbaik umat Islam, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka memberikan ketundukan dan kepatuhan 100% hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya, mereka memiliki pengagungan yang tinggi kepada segala hal yang Allah perintahkan dan larang, termasuk bagaimana memposisikan akal sesuai dengan yang diinginkan syariat. Mereka tidak berlebihan seperti aliran Jahmiyah dan yang semisal, juga tidak meremehkan seperti aliran sufi ekstrem dan yang semisal. Untuk memahami bagaimana sikap seorang muslim dalam memaksimalkan peran akalnya, berikut kami sajikan terjemahan salah satu karya ulama di masa ini, Syekh Shalih Sindi, yang berjudul Ma’alim fi Manzilati Al-‘Aql ‘inda Ahlissunnah wal Jama’ah. Buku ini menjelaskan beberapa kaidah yang semestinya diperhatikan agar kita dapat memberlakukan akal kita sesuai posisinya sebagaimana yang Allah inginkan.
Lanjut ke bagian 2: [Bersambung]
Baca juga: Tuntunan Syariat dalam Menyikapi Perbedaan Akal Manusia
***
Penulis: Syaroful Anam
Artikel asli: https://muslim.or.id/93293-kesempurnaan-islam-dalam-memuliakan-akal-bag-1.html